Pemimpin Yang Memedulikan Sholat Kaum Muslimin
ROMADHON.ID, TANJUNG ENIM - Dalam Islam seorang pemimpin bertanggungjawab tegaknya syariat Islam di wilayah kepemimpinannya. Kepeduliannya terhadap tegaknya syariat akan memberi pengaruh kuat bagi masyarakat. Hal ini berbeda dengan para pemimpin modern yang memasukkan urusan sholat dan ibadah lainnya hanya pada urusan privat. Pemimpin tidak berhak intervensi dalam masalah sholat dan ibadah lainnya. Perannya hanya sebatas memberikan kebebasan beribadah kepada agama apapun. Paradadigma seperti ini adalah dampak dari sekulerisme yang menaruh agama pada wilayah privat.
Dalam urusan shalat jamaah misalnya, masyarakat Islam akan lebih peduli dengan shalat jamaah bila ada keteladanan dan perhatian khusus dari seorang pemimpin. Kondisi seperti ini menjadi alasan kuat mengapa perhatian para salafus shalih terhadap shalat jamaah begitu kuat. Sebagai contoh kita dapati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab mengancam akan memberikan hukuman bagi siapa yang meninggalkan shalat.
Tsabit bin Al-Hajjaj berkata, “Suatu ketika, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu keluar hendak melaksanakan shalat. Lalu ia menghadap orang-orang dan memerintahkan muazin. Ia berdiri seraya berkata, ‘Demi Allah, tidak ada seorang pun yang kita tunggu lagi.’ Tatkala ia selesai shalat, ia kembali menghadap orang-orang kemudian berkata, ‘Mengapa banyak orang yang meninggalkannya (shalat berjamaah), sehingga yang lain ikut-ikutan meninggalkannya? Demi Allah, sungguh aku berniat mengirim utusan kepada mereka untuk menebas leher mereka!’ Lalu dikatakan, ‘Hadirilah shalat jamaah’.” (Kanzul ‘Ummâl: VIII/252)
Demikian pula Umar Al-Faruq menginspeksi orang-orang dalam shalat jamaah. Imam Malik meriwayatkan dari Abu Bakr bin Sulaiman bin Abi Hatsmah bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mencari Sulaiman bin Abi Hatsmah ketika shalat Subuh. Keesokannya, Umar bin Khaththab pergi ke pasar sedangkan tempat tinggal Sulaiman bin Abi Hatsmah terletak di antara pasar dan masjid Nabawi. Ketika ia melintas di hadapan Asy-Syifa’, ibu Sulaiman, ia berkata padanya, “Aku tidak melihat Sulaiman ketika shalat Subuh tadi.” Ibunya lantas menjawab, “Tadi malam, ia shalat sepanjang malam lalu tertidur lelap.” Umar kemudian berkata, “Shalat Subuh berjamaah lebih kusukai daripada aku shalat malam semalam suntuk.”(Al-Muwaththa’: I/131)
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hasyim bahwa bapaknya berkata, “Suatu ketika, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mencari seseorang yang tidak hadir dalam shalat Subuh. Kemudian ia mengirim seorang utusan kepadanya. Tatkala orang tersebut dihadapkan, ia berkata, ‘Di mana saja engkau?’ Orang tersebut menjawab, ‘Aku sedang sakit. Sekiranya bukan utusanmu yang membawaku kemari, niscaya aku tidak keluar.’ Umar lalu berkata, ‘Jika engkau mampu keluar untuk menemui seseorang, maka keluarlah untuk shalat.’ (Al-Mushannaf: I/344-345)
Perhatian Al-Faruq terhadap shalat jamaah tampak pula tatkala ia menyuruh seseorang untuk menuntun orang yang buta supaya ia tetap datang ke masjid. Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Al-Miswar bin Makhramah berkata, “Suatu ketika, Umar radhiyallahu ‘anhu pergi ke rumah Sa’id bin Yarbu’ untuk menghiburnya lantaran matanya buta. Ia kemudian berkata, ‘Jangan engkau tinggalkan shalat jamaah di masjid Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam,’ Sa’id menjawab, ‘Tapi aku tidak mempunyai seorang penuntun.’ Umar kembali berkata, ‘Kalau begitu, kami akan mengirim seorang penuntun kepadamu.’ Maka dikirimlah seorang hamba sahaya dari tawanan kepadanya.”(Kanzul ‘Ummâl: VIII/307)
Kita dapati pula riwayat tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang berjalan seraya berseru, “Shalat, shalat.” Ia bermaksud membangunkan orang-orang untuk shalat Subuh. Ia melakukan hal itu setiap hari. Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu bercerita kepada kami tentang keluarnya Ali pada hari ketika ia ditikam. Ia berkata, “Tatkala ia keluar dari pintu, ia berseru, ‘Wahai sekalian manusia! Shalatlah, shalatlah’.” Demikianlah yang dilakukannya setiap hari. Ia keluar membawa cemetinya seraya membangunkan orang-orang. Kemudian ia dihadang oleh dua orang …. (Ath-Thabaqât Al-Kubra: III/36-37)
Sedangkan amir Mekah yang diangkat oleh Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam yaitu ‘Attab bin Usaid Al-Umawi radhiyallahu ‘anhu mengancam akan membunuh siapa pun yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ia pernah berbicara kepada penduduk Mekah, “Wahai penduduk Mekah! Demi Allah, tidak ada kabar yang sampai kepadaku bahwa salah seorang dari kalian meninggalkan shalat jamaah di masjid, kecuali aku akan membunuhnya.” (Kitab Ash-Shalâh hal. 81. Lihat juga Ghâyatul Marâm bi Akhbâri Sulthanati Al-Baladil Harâm: I/18-19). Imam Ibnul Qayyim menuturkan, “Para shahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berterima kasih kepadanya atas tindakannya tersebut dan kemuliaannya semakin bertambah di mata mereka.” (Kitab Ash-Shalâh hal. 81)
Demikianlah salah satu alasan mengapa syariat Islam menaruh perhatian besar dalam memilih pemimpin. Sebab, keberadaannya tidak hanya berfungsi menyelesaikan problem masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia. Tapi lebih dari itu, seorang pemimpin juga bertanggungjawab membawa rakyatnya untuk meraih kebahagian di akhirat kelak.
http://dlvr.it/RSW2mX
http://dlvr.it/RSW2mX
0 Response to "Pemimpin Yang Memedulikan Sholat Kaum Muslimin"
Post a Comment